Jumat, 12 September 2008

Migas

Blok Migas yang Salah Urus

SALAH kelola dan miskin perencanaan. Itulah dua kata yang melekat ketika kita melihat bagaimana negara memanfaatkan kekayaan energi. Salah kelola karena melimpahnya energi itu tidak mampu memberikan kesejahteraan bagi rakyat.
Lebih dari separuh kekayaan alam kita diekspor secara ugal-ugalan, padahal kebutuhan di dalam negeri belum tercukupi. Produksi gas alam, misalnya, pada tahun 2005 mencapai 8,13 miliar kaki kubik per hari. Namun, 58,4% gas itu diekspor. Itu pun dengan harga US$9 per mmbtu (million metric british thermal units). Terlalu murah untuk ukuran harga gas di pasar spot yang mencapai US$16-US$18 per mmbtu. Padahal, di dalam negeri rakyat tertekan karena krisis energi. Listrik kita terus biarpet. Sejumlah pembangkit listrik tenaga gas dan uap tak maksimal beroperasi karena pasokan gas terus menurun.
Negara juga miskin dalam merencanakan pemanfaatan energi. Padahal cadangan energi kita melimpah. Kita memiliki batu bara yang bisa diproduksi 19,3 miliar ton, cadangan gas 182 triliun kaki kubik, dan cadangan minyak mentah sekitar 80 miliar barel.
Dengan cadangan yang amat wah di tengah harga minyak dan gas dunia yang sangat tinggi, mestinya kita mampu menangguk berkah yang luar biasa. Berkah karena kita mampu menikmati rezeki dari minyak dan gas. Juga, berkah akibat masuknya investasi karena cadangan migas kita bakal diburu para investor. Tapi, kenyataan di lapangan tak semulus perkiraan.
Harga minyak yang tinggi malah membuat kas negara bobol tergerus subsidi. Itu karena produksi minyak kita tekor jika dibandingkan dengan konsumsi minyak. Gas yang mestinya bisa menolong, belum bisa diharapkan karena tak kunjung dieksplorasi. Sebagian besar lokasi cadangan gas kita terlalu sulit dijangkau karena ketiadaan infrastruktur. Investor pun berpikir ribuan kali untuk melakukan eksplorasi, karena nilai ekonomisnya tergerus mahalnya biaya. Itulah yang terjadi ketika pemerintah menawarkan 21 blok migas selama 2007 yang dilelang awal tahun ini.
Separuh dari total penawaran blok migas itu tidak dilirik investor. Setidaknya ada tiga sebab mengapa blok-blok migas itu tidak laku ditawarkan. Pertama, data yang disuguhkan tidak lengkap. Akibatnya investor ragu-ragu dan memutuskan mundur. Kedua, dibutuhkan teknologi tinggi sehingga dana yang harus disiapkan pun besar. Padahal, kejelasan tentang bagaimana prospektus blok-blok itu tidak tersedia. Sebab ketiga, posisi blok migas yang ditawarkan berada di wilayah terpencil. Sudah begitu, infrastruktur untuk mencapai wilayah itu belum ada pula.
Karena itu, amat wajar jika para investor balik badan. Mestinya, kondisi itu bisa diantisipasi kalau perencanaan dan pemetaan pemerintah tentang migas sangat matang dan meyakinkan. Model-model usang 'hajar' dulu perencanaan belakangan sudah harus ditinggalkan. Menarik investor harus dengan cara memanjakan mereka. Buang jauh-jauh segala hambatan investasi. Berikan kepada mereka informasi yang lengkap, jujur, dan transparan.
Kalau perlu audit dulu blok-blok migas yang akan dilelang. Kita sudah tidak bisa lagi berbusa-busa berteriak bahwa cadangan migas kita dahsyat, sedangkan infrastruktur tidak dibenahi dan data tidak jujur. Itu sama saja dengan menyuruh orang mengambil berlian di tengah lautan lepas dengan cara berenang. Kalau itu yang terjadi, bisa-bisa investor pun akan berkata, "Kau yang berlabuh aku yang tenggelam."

Tidak ada komentar: